Apa beda orang yang mengenal Dharma dan tidak? “Bagi orang yang belum mengenal Dharma, pikirannya picik yang sering mengarah pada frustrasi, depresi, stres, dan sebagainya. Apa yang dia lakukan dipikirnya menyelesaikan masalah, namun malah memperpanjang masalah,” jelas Bhiksu Nirmana Sasana.
“Tetapi bagi mereka yang mengenal Dharma, walaupun menghadapi masalah yang lebih parah, baik masalah pribadi ataupun keluarga, mereka tidak gampang hanyut dalam kesedihan, kefrustrasian. Justru banyaknya masalah ini membuat mereka bangkit, membuat mereka memiliki tekad untuk memberikan kebahagiaan kepada orang lain,” lanjut Suhu Xue Hua, begitu ia biasa disapa.
Itulah yang ditunjukkan oleh Setia Widjaja. Ditinggal pergi selama-lamanya oleh anak bungsunya yang baru berusia 6 tahun, bukannya membuatnya terpukul, namun justru membuatnya memiliki energi lebih untuk memberi manfaat bagi orang banyak.
Seperti kita tahu, lebih dari setahun lalu, kita dikejutkan oleh sebuah berita anak kecil yang tertabrak mobil di daerah Pluit, Jakarta Utara sewaktu akan pergi les. Anak tersebut adalah Steven Manggala Widjaja, putra bungsu Setia Widjaja. Setelah beberapa bulan dirawat di RS Pluit, nyawa Steven tak tertolong dan menghembuskan nafas terakhir tanggal 23 Desember 2012.
Kepergian Steven yang mendadak tersebut sangat menyakitkan bagi Setia Widjaja dan istrinya Yuliany Kurniawan, dan semua yang menyayanginya. Tetapi Setia Widjaja tidak larut dalam kesedihan.
“Tepat ketika satu tahun kepergian anak kami, Steven Manggala Widjaja, nggak tau bagaimana ada dorongan yang muncul dalam diri saya untuk menulis,” tutur Setia Widjaja.
Dorongan itu akhirnya bertemu jodoh yang tepat ketika ia dan istrinya mengikuti pabajja samanera sementara di Fo Guang Shan, Taiwan pada 21-27 Juli 2013. Ketika itu, sehari sebelum pabajja, mereka berbincang-bincang dengan seorang bhiksu asal Indonesia yang sudah lama menetap di sana, Bhiksu Hui Zhong.
Bhiksu Hui Zhong mengatakan bahwa Master Hsing Yun –pendiri Fo Guang Shan– banyak menulis kaligrafi. Saking banyaknya, tulisan-tulisan tersebut banyak yang menumpuk di gudang. Mendengar itu, dengan bercanda Setia Widjaja bertanya, “Suhu, kalau memang banyak yang tersimpan di gudang, boleh nggak minta satu aja?”
Bhiksu Hui Zhong tidak menjanjikan akan memberinya. Sampai akhirnya setelah Setia Widjaja selesai mengikuti pabajja, Bhiksu Hui Zhong memberinya ‘hadiah’ berupa sebuah tulisan kaligrafi Mandarin bertuliskan ‘Jadikan Dharma Sebagai Guru’. Dan kemudian Setia Widjaja abadikan tulisan tersebut menjadi judul bukunya,Let Dharma Be Your Teacher (Jadikan Dharma Sebagai Gurumu).
Ini adalah buku keenam Setia Widjaja yang kini bekerja sebagai konsultan human resources (HR). Jarak antara buku kelima dan keenam sangat jauh, yaitu 17 tahun.
Buku tersebut diluncurkan pada Sabtu, 22 Maret 2014 lalu di Pusdiklat Buddhis Bodhidharma, Jakarta. Dalam acara peluncuran tersebut diadakan juga Dharmatalk yang dibawakan oleh Bhiksu Nirmana Sasana.
Acara peluncuran buku tersebut berlangsung sederhana. “Pak Setia kalau untuk Dharmatalk bhikkhu mana, suhu mana, vihara mana, dia promosi gede-gedean. Tapi ketika buat dirinya sendiri, bukannya ngga pede, dia nggak mau sok, dia mau lihat sejauh mana orang-orang yang kenal Setia Widjaja (menghadiri acaranya),” ujar Bhiksu Vidya Sasana, kepala Pusdiklat Bodhidharma yang juga ketua BLIA Jakarta.
Acara dimulai dengan persembahan buku oleh Setia Widjaja dan istri kepada orangtuanya. Kemudian dibagikan kepada semua undangan yang hadir. “Hari ini Pak Setia menulis buku Dharma, dan diberikan kepada orangtuanya. Itu adalah suatu bakti yang luar biasa,” ujar Bhiksu Nirmana Sasana yang disambut tepuk tangan.
“Bakti kepada orangtua yang terbaik adalah memberi Dharma,” lanjutnya.
Bahkan, tanpa sungkan, Bhiksu Nirmana Sasana mengungkapkan rasa irinya kepada Setia Widjaja. Menurutnya, ia sudah hampir 20 tahun menjadi anggota Sangha dan sudah banyak memberikan ajaran Buddha kepada banyak orang. “Yang saya iri dengan Pak Setia Widjaja, saya belum sempat memberi Dharma pada orangtua saya sendiri,” ia mengakui.
Bhiksu Nirmana Sasana kemudian mengutip kata-kata orang zaman dulu, “Menolong orang lain gampang, tapi menolong keluarga sendiri sulit.” Sebuah ironi yang memang banyak terjadi. Ia kemudian memberi contoh. Sering ketika kita menerima telepon, entah dari atasan, teman, rekan kerja, atau bahkan orang yang tak kita kenal, kita menerimanya dengan penuh sopan santun. Tapi ironisnya begitu orangtua, keluarga, saudara, atau suami/istri yang menelepon, kita sering menerimanya dengan terburu-buru dengan berdalih sedang sibuk. Betul?
Buku Let Dharma Be Your Teacher juga bercerita tentang pengalaman spiritualnya mengikuti pabajja samanera. Selain itu juga terdapat sebuah bab yang berisi tentang belajar dari para tokoh Buddhis, yaitu Somdet Phra Nyanasamvara, Master Hsuan Hua, Master Hsing Yun, Bhikkhu Maha Ghosananda, Dalai Lama, Master Hui Hai, Bhiksu Vidya Sasana, dan Bhiksuni Guna Sasana.
Inspirasi dari para tokoh Buddhis tersebut diibaratkan oleh Bhikkhu Khanit Sannano yang juga hadir pada acara tersebut, sebagai obat. “Pak Setia Widjaja seperti mengambil obat dari para bhikkhu, suhu untuk diberikan kepada kita. Kita yang harus meminumnya sendiri,” ujarnya.
Ia menyebut, apa yang dilakukan Setia Widjaja ibarat memasang pelampung bagi dirinya. “Siapa pun yang berbuat baik seperti pasang pelampung dalam diri, akan susah tenggelam. Walaupun tenggelam, akan muncul lagi,” ujar Bhikkhu Khanit.
Dalam acara tersebut Setia Widjaja juga bercerita tentang tekadnya untuk mengajak orang sebanyak mungkin mengikuti pabajja samanera di Fo Guang Shan. “Saya bermimpi semoga ada 1250 orang yang berjodoh bisa mengikuti pabajja di Fo Guang Shan. Kalau 10% dari 1250 orang itu bisa lanjut jadi suhu di Fo Guang Shan, kemudian pulang ke vihara masing-masing, saya yakin cahaya Dharma akan semakin terang di Indonesia,” ujarnya yakin.
Ia menekankan, yang pertama harus ditumbuhkan adalah tekad untuk ikut. Karena jika kemudian ada kendala, pasti akan selalu ada jalan untuk mengatasinya.
(sumber: http://buddhazine.com/jadikan-dharma-sebagai-guru/)